Mengapa muncul istilah Bencana Gunung Gerapi? Mengapa bukan bencana Gunung Kelud atau bencana Gunung Semeru yang semuanya itu juga termasuk dalam daftar gunung berapi di Indonesia? Salah satu jawaban yang mungkin adalah karena Gunung Merapi termasuk yang teraktif di Indonesia.
Bencana Gunung Merapi
Sejak 1548 gunung ini telah meletus sebanyak 68 kali. Sampai saat ini gunung ini termasuk sangat berbahaya karena berdasarkan data yang ada, gunung ini mengalami erupsi (puncak keaktifan) sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh pemukiman padat yang berjarak dekat dengan pusat letusan. Bencana Gunung Merapi siap mengancam nyawa penduduk sekitar.
Kondisi di atas yang akhirnya menjadikan Gunung Merapi sebagai salah satu dari 16 gunung berapi di dunia yang termasuk dalam proyek Gunung Berapi Dekade Ini (Decade Volcanoes). Proyek ini merupakan prakarsa dari International Association of Volcanology and Chemistry of the Earth’s Interior (IAVCEI).
Untuk bisa dimasukkan dalam program Decade Volcanoes, gunung berapi tersebut harus memenuhi kualifikasi yang telah ditentukan di antaranya mengenai sejarah terjadinya letusan gunung berapi tersebut selama beberapa tahun, potensi kerusakan yang diakibatkan oleh adanya letusan serta kedekatan lokasi gunung berapi dengan area pemukiman penduduk.
Gunung Merapi memang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan itu mengingat sejarah panjang gunung ini yang telah meletus berkali-kali dan bisa dikatakan setiap ada bencana Gunung Merapi hampir selalu memakan korban jiwa mengingat lokasinya yang berdekatan dengan perumahan penduduk.
Di lereng Gunung Merapi ada pemukiman warga sampai ketinggian 1700 meter dan hanya berjarak 4 kilometer dari puncak, selain juga terdapat kota besar seperti Kota Yogyakarta dan Kota Magelang yang berada di radius 30 km dari puncak Merapi.
Bencana Gunung Merapi yang terjadi, selain berhasil ’memopulerkan’ Mbah Maridjan sebagai juru kuncinya, kondisi itu mampu mengenalkan fenomena yang disebut dengan wedhus gembel kepada masyarakat secara lebih luas.
Wedhus Gembel yang dimaksud disini bukanlah domba yang memiliki bulu lebat, tapi istilah ini digunakan untuk merujuk kepada awan panas bergulung-gulung yang kerap menyertai ketika Merapi mulai beraksi. Dan fenomena alam seperti ini akan tampak jelas ketika bencana Gunung Merapi terjadi.
Sejarah Bencana Gunung Merapi
Menilik sejarah yang ada, bencana Gunung Merapi telah terjadi sejak ratusan yang lalu tepatnya pada tahun 1006 yang tercatat sebagai tahun terjadinya letusan yang pertama (Data Dasar Gunung Api Indonesia, 1979). Bisa dirata-rata bencana Gunung Merapi terjadi dalam siklus pendek yang terjadi setiap 2-3 tahun sekali (dalam versi lain siklus pendek adalah 2-5 tahun sekali), berikutnya siklus menengah setiap 10-15 tahun sekali dan siklus terpanjang pernah tercatat setelah mengalami masa istirahat lebih dari 30 tahun lamanya.
Diperkirakan adanya bencana Gunung Merapi yang terjadi akibat aktivitas gunung yang sedang naik yang berdampak besar bagi masyarakat dan lingkungan terjadi pada tahun 1786, 1822, 1872 dan 1930. Letusan pada 1872 diduga merupakan letusan terkuat dengan skala VEI (Volcanic Explosivity Index) mencapai 3 sampai 4. Besarnya letusan ini bisa disamai oleh letusan Merapi pada tahun 2010 kemarin.
Letusan yang terjadi di tahun 1930 merupakan bencana Gunung Merapi yang memakan korban terbesar sepanjang sejarah bencana Gunung Merapi, yaitu sekitar 1400 korban jiwa dan 13 pemukiman desa hancur. Sedangkan bencana Gunung Merapi yang terjadi pada akhir 1994-an, wedhus gembel membuat sebanyak 60 jiwa manusia melayang.
Letusan 19 Juli 1998 cukup besar namun aktivitas letusannya mengarah keatas sehingga tidak sampai menelan korban jiwa dari masyarakat yang bermukim di daearah sekitar lokasi bencana Gunung Merapi. Pada rentang waktu tahun 2001-2003, tercatat aktivitas tinggi dari Gunung Merapi yang terjadi secara terus-menerus.
Pada 2006, bencana Gunung Merapi kembali terjadi yang memakan korban sebanyak 2 orang. Mereka adalah para sukarelawan yang sedang bertugas. Pada akhir 2010 di November-Oktober, letusan Gunung Merapi dilihat sebagai yang terbesar sejak tahun 1872. Korban jiwa yang jatuh dalam bencana Gunung Merapi pada tahun itu sebanyak 273 orang meski berbagai tindakan pencegahan munculnya korban jiwa termasuk yang berkaitan dengan evakuasi telah dilakukan.
Bencana Gunung Merapi yang terjadi 2 tahun lalu itu dianggap sebagai satu penyimpangan dari apa yang disebut sebagai ’Tipe Merapi’ karena bersifat eksplosif yang diiringi dengan suara ledakan serta gemuruh yang terdengar sampai radius 20-30 km.
Dampak Buruk Bencana Gunung Merapi
Adanya bencana Gunung Merapi memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat, baik dari segi sosial, ekonomi, materi, lingkungan serta kesehatan.
Dampak sosial yang muncul karena adanya bencana Gunung Merapi adalah jatuhnya ratusan korban jiwa yang meninggal dunia (sekitar 200 orang), ratusan orang harus dirawat di berbagai rumah sakit dengan luka bakar di tubuhnya akibat serangan wedhus gembel dan juga gangguan pernafasan yang menyerang banyak warga secara serempak.
Selain sakit secara fisik, akibat dari bencana Gunung Merapi ini banyak warga yang mengalami gangguan kejiwaan karena rumah, harta benda serta usaha yang mereka miliki selama ini hancur. Bayangkan, 64 desa yang selama ini ditinggalinya tertutup debu tebal hingga mencapai 1 m dengan kondisi rumah yang rusak.
Diperkirakan akibat bencana Gunung Merapi ini, kerugian materi yang bisa dihitung mencapai angka 5 Triliyun rupiah karena roda perekonomian macet. Sektor pertanian, pariwisata, UMKM, perhotelan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dampak buruk akibat bencana Gunung Merapi ini juga menyebabkan kerusakan yang parah pada lingkungan di sekitar Merapi.
Banyak hewan ternak yang mati dan tumbuh-tumbuhan yang mengalami kerusakan. Dari bencana Gunung Merapi ini juga menyebabkan munculnya berbagai jenis gas seperti halnya Sulfur Dioksida, gas Hidrogen Sulfida, Nitrogen Dioksida dan juga debu-debu dalam bentuk partikel debu yang ini mampu membahayakan kesehatan dan juga membahayakan lalu lintas penerbangan.
Apa hubungannya antara keberadaan gas-gas dari bencana Gunung Merapi itu dengan keselamatan lalu lintas penerbangan? Ternyata partikel abu tersebut dapat menyebabkan terjadinya kerusakan mesin pada pesawat. Seperti halnya yang terjadi pada pesawat Thomas Cook Skandinavia yang melewati awan Merapi dalam perjalanannya dari Indonesia ke Saudi Arabia yang akhirnya harus mampir ke Batam untuk diperiksa mesinnya. Dan ternyata memang benar, bahwa mesin itu mengalami kerusakan dan harus diganti.
Maka tidak heran jika ketika letusan ini terjadi, banyak penerbangan yang melintasi daerah Yogyakarta yang dialihkan rutenya. Sejumlah penerbangan kedalam atau keluar negeri banyak yang dibatalkan karena adanya abu vulkanik dari bencana Gunung Merapi yang penyebarannya luas sekali sampai mencapai daerah-daerah yang berada di luar Yogyakarta yang notabene jauh dari pusat letusan.
Bencana Gunung Merapi dan Dampaknya